Dalam
perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia pasca orde baru merupakan sebuah
awal lahirnya tatanan pemerintahan dari sentralistik menuju desentralisasi. Perubahan
tersebut diwujudkan dengan lahirnya berbagai undang-undang mengenai
pemerintahan daerah selama era reformasi saat ini. Setelah runtuhnya rezim orde
baru lahirlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah untuk pertama kalinya. Undang-undang
tersebut merupakan jawaban atas salah satu tuntutan reformasi yang berisi
desentralisasi yang dianggap paling liberal di dunia dikarenakan urusan
pemerintahan yang sangat besar dilimpahkan kepada daerah sehingga dianggap
mendekatkan Indonesia ke sistem pemerintahan federal. Akan tetapi,
desentralisasi dalam pemeberian izin pemanfaatan hutan dan usaha pertambangan
dianggap menjadi penyebab banjir dan pencemaran air di beberapa tempat seperti
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Akibat
dampak yang ditimbulkan dari desentralisasi Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah serta
amandemen UUD 1945 dalam hal ini adanya pasal 18 sebagai landasan utama dalam
pengakuan pemerintahan daerah. undang-undang ini dianggap langkah awal menarik
kembali urusan pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah dan menghadirkan
keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi. tersebut sehingga menjadi
alasan penggantian undang-undang tersebut dengan Undang-Undang No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akan
tetapi, perjalanan undang-undang ini harus terhenti lagi dengan adanya
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan bahkan di
revisi menjadi Undang-Undang No. 12 tahun 2008.
Pada
tanggal 30 September 2014 pemerintah kembali mengesahkan Undang-Undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti undang-undang
sebelumnya. Dalam perkembangan undang-undang ini pun mengalami berbagai
perubahan mulai dari Undang-Undang No. 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang akibat kembalinya kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota dalam memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota akibat adanya momentum pemilihan Kepala dan Wakil
Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota pada tahun 2015. Kemudian di revisi lagi
menjadi Undang-Undang No. 9 tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Melihat kondisi tersebut menunjukkan adanya suatu problem dalam
proses legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) dengan Presiden dimana revisi yang berulang-ulang dilakukan terhadap
produk hukum yang belum diimplementasikan dengan maksimal. Akibat adanya
keinginan mengembalikan kewenangan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menjadi suatu
alasan revisi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah tetapi memunculkan lagi permasalahan baru dalam hal pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan
Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal
urusan pemerintahan terdiri atas:
1.
Urusan pemerintahan absolut
adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional
serta agama
2.
Urusan pemerintahan
konkuren, adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
3.
Urusan pemerintahan umum
adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Selanjutnya
dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Daerah terdiri atas:
1.
Urusan Pemerintahan Wajib
yang terdiri atas:
·
Urusan Pemerintahan yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Meliputi Pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman,
ketertiban umum, pelindungan masyarakat, dan sosial.
·
Urusan Pemerintahan yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Meliputi tenaga kerja, pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup,
administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan
Desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan
informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, penanaman modal, kepemudaan
dan olah raga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.
2.
Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi
kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber
daya mineral, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi.
Dalam
pembagian urusan tersebut memberikan suatu perbedaan dengan undang-undang
sebelumnya terutama dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
kehutanan dan bidang energi sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pertambangan mineral dan batu bara.
Berdasarakan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menekankan 59 kewenangan di bidang kehutanan dan
hanya 7 diantaranya yang tidak diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal
ini menegaskan bahwa orientasi otonomi daerah pada bidang kehutanan masih
berada di pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota, selain
pemerintah provinsi.
Akan tetapi,
dengan dicabutnya UU 32 Tahun 2004 beserta perubahan-perubahannya, terjadi
perubahan yang sangat drastis terkait kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
urusan bidang kehutanan. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya memiliki 1 kewenangan/urusan
yaitu Pelaksanaan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura). Pelaksanaan dan
pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) menjadi bagian dari sub urusan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
bidang kehutanan tersebut, menjadi satu-satunya kewenangan yang dimiliki
berdasar Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal
tersebut menunjukkan urusan kehutanan kembali menjadi tersentralisasi, kendati
ada pemerintah provinsi yang masih memiliki kewenangan yang cukup besar. Namun,
pemerintah provinsi sejatinya merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat
melalui konsep dekonsentrasi.
Hal
ini berbanding terbalik dengan orientasi pengurusan hutan yang diatur dalam
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang tegas menyatakan bahwa
Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Dengan
kewenangan yang diserahkan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan untuk antara lain:
1.
Kewenangan dalam
penerbitan izin
2.
Kewenangan pemberian rekomendasi
3.
Kewenangan mengesahkan perencanaan
kehutanan untuk wilayah Kabupaten/Kota
4.
Membentuk struktur satuan kerja
perangkat daerah (dinas kehutanan)
5.
Menyusun peraturan daerah (Perda) yang
berhubungan dengan kehutanan
Dicabutnya
berbagai kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan oleh Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah akan mengakibatkan berkurangnya
anggaran secara drastis pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota,
tidak adanya Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mengurusi kehutanan secara
khusus pada tingkat Kabupaten/Kota, hilangnya kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota
untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur pengelolaan hutan di
wilayahnya, dan hilangnya kewenangan dalam penerbitan berbagai perizinan.
Mengenai
kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara memberikan beberapa kewenangan pemerintah kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Kabupaten/Kota tidak akan memiliki lagi satu kewenangan pun dalam
urusan pertambangan minerba. Hal tersebut memunculkan reaksi dan kontroversi di
kalangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam urusan pertambangan
minerba, maka telah terjadi sentralisasi 100%.
Memang, Pemerintah Kabupaten/Kota
masih akan memiliki wewenang dalam urusan energi, khususnya panas bumi yaitu
dalam hal penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah
Kabupaten/Kota. Namun hal tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2014
tentang Panas Bumi, bukan berdasarkan pada Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dengan berlakunya Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
maka Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan:
1.
Membentuk struktur
satuan kerja perangkat daerah (Dinas Pertambangan)
2.
Kewenangan menyusun
peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan pertambangan
3.
Kewenangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha
pertambangan rakyat (IUPR)
Berdasarkan uraian diatas
menunjukkan bahwa dalam implementasi Undang-Undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
terutama pengelolaan hutan dan pertambangan minerba menunjukkan adanya
kecenderungan menarik kembali atau resentralisasi kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Pusat melalui parantara Pemerintah Provinsi yang
memang menjadi perpanjangan tangannya. Selain itu, juga menunjukkan adanya
beberapa overlaping regulasi antara
undang-undang sektoral (UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan/ UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara) dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sehingga perlunya melakukan revisi terhadap berbagai prodak hukum yang saling
mengalami kontradiksi.
SANGAT BAIK
BalasHapus