Senin, 01 Februari 2016

Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Pengelolaan Hutan dan Pertambangan di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Dalam perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia pasca orde baru merupakan sebuah awal lahirnya tatanan pemerintahan dari sentralistik menuju desentralisasi. Perubahan tersebut diwujudkan dengan lahirnya berbagai undang-undang mengenai pemerintahan daerah selama era reformasi saat ini. Setelah runtuhnya rezim orde baru lahirlah Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah untuk pertama kalinya. Undang-undang tersebut merupakan jawaban atas salah satu tuntutan reformasi yang berisi desentralisasi yang dianggap paling liberal di dunia dikarenakan urusan pemerintahan yang sangat besar dilimpahkan kepada daerah sehingga dianggap mendekatkan Indonesia ke sistem pemerintahan federal. Akan tetapi, desentralisasi dalam pemeberian izin pemanfaatan hutan dan usaha pertambangan dianggap menjadi penyebab banjir dan pencemaran air di beberapa tempat seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Akibat dampak yang ditimbulkan dari desentralisasi Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta amandemen UUD 1945 dalam hal ini adanya pasal 18 sebagai landasan utama dalam pengakuan pemerintahan daerah. undang-undang ini dianggap langkah awal menarik kembali urusan pemerintahan yang sudah dilimpahkan ke daerah dan menghadirkan keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi. tersebut sehingga menjadi alasan penggantian undang-undang tersebut dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi, perjalanan undang-undang ini harus terhenti lagi dengan adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan bahkan di revisi menjadi Undang-Undang No. 12 tahun 2008.
Pada tanggal 30 September 2014 pemerintah kembali mengesahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti undang-undang sebelumnya. Dalam perkembangan undang-undang ini pun mengalami berbagai perubahan mulai dari Undang-Undang No. 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang akibat kembalinya kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota dalam memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota akibat adanya momentum pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota pada tahun 2015. Kemudian di revisi lagi menjadi Undang-Undang No. 9 tahun 2015  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Melihat kondisi tersebut menunjukkan adanya suatu problem dalam proses legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Presiden dimana revisi yang berulang-ulang dilakukan terhadap produk hukum yang belum diimplementasikan dengan maksimal. Akibat adanya keinginan mengembalikan kewenangan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menjadi suatu alasan revisi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tetapi memunculkan lagi permasalahan baru dalam hal pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal urusan pemerintahan terdiri atas:
1.        Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama
2.        Urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
3.        Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas:
1.        Urusan Pemerintahan Wajib yang terdiri atas:
·           Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Meliputi Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, pelindungan masyarakat, dan sosial.
·           Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Meliputi tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan Desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olah raga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.
2.        Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi.
Dalam pembagian urusan tersebut memberikan suatu perbedaan dengan undang-undang sebelumnya terutama dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dan bidang energi sumber daya mineral yang berkaitan dengan pertambangan mineral dan batu bara.  Berdasarakan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menekankan 59 kewenangan di bidang kehutanan dan hanya 7 diantaranya yang tidak diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini menegaskan bahwa orientasi otonomi daerah pada bidang kehutanan masih berada di pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota, selain pemerintah provinsi.
Akan tetapi, dengan dicabutnya UU 32 Tahun 2004 beserta perubahan-perubahannya, terjadi perubahan yang sangat drastis terkait kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam urusan bidang kehutanan. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya memiliki 1 kewenangan/urusan yaitu Pelaksanaan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura). Pelaksanaan dan pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) menjadi bagian dari sub urusan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang kehutanan tersebut, menjadi satu-satunya kewenangan yang dimiliki berdasar Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut menunjukkan urusan kehutanan kembali menjadi tersentralisasi, kendati ada pemerintah provinsi yang masih memiliki kewenangan yang cukup besar. Namun, pemerintah provinsi sejatinya merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat melalui konsep dekonsentrasi.
Hal ini berbanding terbalik dengan orientasi pengurusan hutan yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang tegas menyatakan bahwa Pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Dengan kewenangan yang diserahkan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk antara lain:
1.        Kewenangan dalam penerbitan izin
2.        Kewenangan pemberian rekomendasi
3.        Kewenangan mengesahkan perencanaan kehutanan untuk wilayah Kabupaten/Kota
4.        Membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (dinas kehutanan)
5.        Menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan kehutanan
Dicabutnya berbagai kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kehutanan oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah akan mengakibatkan berkurangnya anggaran secara drastis pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, tidak adanya Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mengurusi kehutanan secara khusus pada tingkat Kabupaten/Kota, hilangnya kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur pengelolaan hutan di wilayahnya, dan hilangnya kewenangan dalam penerbitan berbagai perizinan.
Mengenai kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memberikan beberapa kewenangan pemerintah kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak akan memiliki lagi satu kewenangan pun dalam urusan pertambangan minerba. Hal tersebut memunculkan reaksi dan kontroversi di kalangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam urusan pertambangan minerba, maka telah terjadi sentralisasi 100%.
Memang, Pemerintah Kabupaten/Kota masih akan memiliki wewenang dalam urusan energi, khususnya panas bumi yaitu dalam hal penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah Kabupaten/Kota. Namun hal tersebut berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, bukan berdasarkan pada Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan:
1.        Membentuk struktur satuan kerja perangkat daerah (Dinas Pertambangan)
2.        Kewenangan menyusun peraturan daerah (Perda) yang berhubungan dengan pertambangan
3.        Kewenangan dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan rakyat (IUPR)

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa dalam implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terutama pengelolaan hutan dan pertambangan minerba menunjukkan adanya kecenderungan menarik kembali atau resentralisasi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota oleh Pemerintah Pusat melalui parantara Pemerintah Provinsi yang memang menjadi perpanjangan tangannya. Selain itu, juga menunjukkan adanya beberapa overlaping regulasi antara undang-undang sektoral (UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan/ UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara) dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga perlunya melakukan revisi terhadap berbagai prodak hukum yang saling mengalami kontradiksi.

1 komentar: