Senin, 01 Februari 2016

Resentralisasi Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya otonomi daerah tak terlepas dari tuntutan reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 18 dan Pasal 18A dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengakui secara jelas otonomi daerah serta menjadi landasan utama dalam terbentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah salah satu pruduk hukum yang disepakati oleh Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada awal 2010. Perjalanan dari undang-undang ini tidak begitu baik, karena penyerahan rancangan undang-undangnya baru diserahkan pada tanggal 4 Februari 2012 silam, dan mulai dibahas pada masa sidang keempat DPR pada bulan Mei-Agustus 2012. Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang terbaru diharapkan disahkan sebelum pelaksanaan Pemilu 2014 tetapi mengalami pemunduran waktu hingga baru bisa disahkan pada bulan September 2014.
Pada naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa tujuan RUU tersebut adalah untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32/2004. Beberapa kelemahan yang dimaksud adalah konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat sipil dan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur. Akhirnya sebelum Joko Widodo dilantik menjadi presiden, DPR RI mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah yang terbaru pada tanggal 30 September 2014. Sebuah ketentuan baru yang lahir dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Akan tetapi, didalam undang-undang ini terdapat berbagai penyimpangan termasuk berhubungan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota dalam memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang juga berdampak terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga mengalami berbagai perubahan atau revisi. Perubahan tersebut dimulai dari Undang-Undang No. 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang Kemudian di revisi lagi menjadi Undang-Undang No. 9 tahun 2015  tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki dampak yang akan ditimbulkan seperti perencanaan, penganggaran, perizinan dan pelayanan. 4 (empat) dampak pokok yang menjadi akibat dari implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perencanaan pembangunan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sangat dipengaruhi akibat adanya kewenangan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi yang akan membuat berkurangnya berbagai perencanaan pembangunan di Kabupaten/Kota. Selain itu juga, pengembalian kewenangan tersebut berdampak dalam pengurangan penganggaran dalam hal ini terjadi penurunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.
Dalam hal perijinan juga terjadi perubahan yang sangat drastis terutama dengan Undang-Undang Sektoral seperti Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan adanya Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru menjadikan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam berbagai pemberian izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat serta izin usaha pertambangan khusus. Kewenangan perizinan yang sebelumnya kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota tersebut dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi akibat Undang-Undang Pemerintahan Daerah terbaru yang tentunya saling bersinergi dengan perencanaan pembangunan dan penganggara.
Dampak yang sangat fundamental dari Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu terkait masalah pelayanan. Pada Pasal 12 UU ini membagi urusan pemerintahan yang berkaitan dan tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan wajib pemerintah yang dikategorikan pelayanan dasar adalah pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, serta sosial.
Sementara urusan pemerintahan wajib tetapi tidak masuk kategori pelayanan dasar menurut UU ini adalah tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa,  pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi dan usaha kecil-menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olahraga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.
Kategori lainnya selain urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan pilihan. Beberapa urusan yang dianggap urusan pemerintahan pilihan dan sudah pasti dianggap oleh penggagas UU ini tidak berkaitan dengan pelayanan dasar adalah kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi.
Pembagian urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagai urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah masih perlu diperdebatkan karena terkait dengan pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa urusan pilihan didalam UU ini sebenarnya terkait erat dengan kebutuhan dasar masyarakat dalam membuka akses usaha bagi kalangan dunia usaha. Apalagi pemerintah telah menggelorakan gerakan kewirausahaan nasional sehingga urusan-urusan pilihan dalam UU ini sebenarnya adalah urusan wajib pemerintah daerah untuk membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraannya melalui jalur wiraswasta dalam berbagai bidang.
Demikian pula, beberapa urusan wajib yang tidak dikategorikan pelayanan dasar dalam UU ini, padahal sebenarnya merupakan kebutuhan dasar seperti urusan pangan, pertanahan, dan administrasi kependudukan. Ketiga urusan yang disebut diatas merupakan kebutuhan dasar setiap manusia sehingga semestinya ditetapkan sebagai bagian dari pelayanan dasar penyelenggara pemerintahan sebagai pelayan publik. Seperti hak atas pangan dan hak atas tanah adalah bagian dari hak azasi manusia sehingga urusan penyediaan pangan dan kepemilikan tanah/lahan merupakan pelayanan wajib yang harus disediakan oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa dalam hal menciptakan otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 Pemerintah Pusat masih belum mampu menemukan konsep yang baik dikarenakan banyaknya kelemahan-kelemahan dari Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh dari uraian diatas dalam hal prencanaan, penganggaran, perizinan dan pelayanan sangat berdampak dalam implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, terdapat juga pertentangan antara Undang-Undang Sektoral seperti Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 1 tahun 2014, Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang No. 31 tentang 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 45 tahun 2009 dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tentu dalam proses implementasi akan lebih memperumit terutama dalam hal pelayanan akibat kembalinya kewenangan yang sebelumnya dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi yang terkesan resentralisasi melalui pemerintah provinsi serta juga berdampak pada perencanaan, penganggaran dan perizinan.
Selain itu, juga terdapat berbagai kendala dalam implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia di tingkat Kabupaten/Kota, lemahnya partisipasi masyarakat, adanya kecenderungan pemerintah Kabupaten/Kota menutup akses informasi, serta kurangnya kegiatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Olehnya itu, perlu menata kembali berbagai produk hukum yang saling berkontradiksi dan perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia agar kiranya mampu menerapkan konsep ideal dalam otonomi daerah yang berujung pada Good and Clean Governance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar