Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya otonomi daerah
tak terlepas dari tuntutan reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Pasal 18 dan Pasal 18A dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengakui secara
jelas otonomi daerah serta menjadi landasan utama dalam terbentuknya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah salah satu pruduk
hukum yang disepakati oleh Kementerian Dalam Negeri dengan Komisi II Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada awal 2010. Perjalanan dari
undang-undang ini tidak begitu baik, karena penyerahan rancangan
undang-undangnya baru diserahkan pada tanggal 4 Februari 2012 silam, dan
mulai dibahas pada masa sidang keempat DPR pada bulan Mei-Agustus 2012.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang terbaru diharapkan disahkan sebelum
pelaksanaan Pemilu 2014 tetapi mengalami pemunduran waktu hingga baru bisa
disahkan pada bulan September 2014.
Pada
naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa tujuan RUU tersebut
adalah untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32/2004.
Beberapa kelemahan yang dimaksud adalah konsep kebijakan desentralisasi dalam
negara kesatuan, hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat sipil dan
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur. Akhirnya
sebelum Joko Widodo dilantik menjadi presiden, DPR RI mengesahkan RUU Pemerintahan
Daerah yang terbaru pada tanggal 30 September 2014. Sebuah ketentuan baru yang
lahir dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Akan
tetapi, didalam undang-undang ini terdapat berbagai penyimpangan termasuk
berhubungan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota yang mengembalikan kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi/Kabupaten/Kota dalam memilih Kepala
dan Wakil Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang juga berdampak terhadap Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga mengalami berbagai
perubahan atau revisi. Perubahan tersebut dimulai dari Undang-Undang No.
2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang Kemudian di revisi lagi menjadi Undang-Undang No. 9 tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah memiliki dampak yang akan ditimbulkan seperti perencanaan,
penganggaran, perizinan dan pelayanan. 4 (empat) dampak pokok yang menjadi
akibat dari implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Perencanaan pembangunan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sangat dipengaruhi akibat adanya kewenangan yang
sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi yang akan membuat berkurangnya berbagai
perencanaan pembangunan di Kabupaten/Kota. Selain itu juga, pengembalian
kewenangan tersebut berdampak dalam pengurangan penganggaran dalam hal ini
terjadi penurunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.
Dalam
hal perijinan juga terjadi perubahan yang sangat drastis terutama dengan
Undang-Undang Sektoral seperti Undang-Undang No.
4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan adanya
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru menjadikan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam berbagai pemberian izin usaha
pertambangan, izin pertambangan rakyat serta izin usaha pertambangan khusus.
Kewenangan perizinan yang sebelumnya kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota
tersebut dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi akibat Undang-Undang
Pemerintahan Daerah terbaru yang tentunya saling bersinergi dengan perencanaan
pembangunan dan penganggara.
Dampak yang sangat fundamental dari
Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yaitu
terkait masalah pelayanan. Pada Pasal 12 UU ini membagi urusan
pemerintahan yang berkaitan dan tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan
wajib pemerintah yang dikategorikan pelayanan dasar adalah pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, ketenteraman/ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, serta
sosial.
Sementara
urusan pemerintahan wajib tetapi tidak masuk kategori pelayanan dasar menurut
UU ini adalah tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak,
pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan
sipil, pemberdayaan masyarakat dan desa,
pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi
dan informatika, koperasi dan usaha kecil-menengah, penanaman modal, kepemudaan
dan olahraga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.
Kategori
lainnya selain urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan pilihan.
Beberapa urusan yang dianggap urusan pemerintahan pilihan dan sudah pasti
dianggap oleh penggagas UU ini tidak berkaitan dengan pelayanan dasar adalah
kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber
daya mineral, perdagangan, perindustrian dan transmigrasi.
Pembagian
urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagai urusan pemerintahan konkuren yang
menjadi kewenangan daerah masih perlu diperdebatkan karena terkait dengan
pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa urusan
pilihan didalam UU ini sebenarnya terkait erat dengan kebutuhan dasar
masyarakat dalam membuka akses usaha bagi kalangan dunia usaha. Apalagi
pemerintah telah menggelorakan gerakan kewirausahaan nasional sehingga
urusan-urusan pilihan dalam UU ini sebenarnya adalah urusan wajib pemerintah
daerah untuk membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraannya melalui jalur
wiraswasta dalam berbagai bidang.
Demikian
pula, beberapa urusan wajib yang tidak dikategorikan pelayanan dasar dalam UU
ini, padahal sebenarnya merupakan kebutuhan dasar seperti urusan pangan,
pertanahan, dan administrasi kependudukan. Ketiga urusan yang disebut diatas
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia sehingga semestinya ditetapkan sebagai
bagian dari pelayanan dasar penyelenggara pemerintahan sebagai pelayan publik.
Seperti hak atas pangan dan hak atas tanah adalah bagian dari hak azasi manusia
sehingga urusan penyediaan pangan dan kepemilikan tanah/lahan merupakan
pelayanan wajib yang harus disediakan oleh pemerintah.
Berdasarkan
uraian diatas menunjukkan bahwa dalam hal menciptakan otonomi daerah
berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 18A Undang-Undang Dasar 1945 Pemerintah Pusat
masih belum mampu menemukan konsep yang baik dikarenakan banyaknya
kelemahan-kelemahan dari Undang-Undang No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh dari uraian diatas
dalam hal prencanaan, penganggaran, perizinan dan pelayanan sangat berdampak
dalam implementasi Undang-Undang No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, terdapat juga pertentangan
antara Undang-Undang Sektoral seperti Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,
Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 1 tahun 2014,
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang
No. 31 tentang 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
No. 45 tahun 2009 dengan Undang-Undang No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tentu dalam proses implementasi akan lebih
memperumit terutama dalam hal pelayanan akibat kembalinya kewenangan yang
sebelumnya dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi
yang terkesan resentralisasi melalui pemerintah provinsi serta juga berdampak
pada perencanaan, penganggaran dan perizinan.
Selain itu, juga terdapat berbagai kendala dalam implementasi Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni rendahnya kualitas sumber
daya manusia di tingkat Kabupaten/Kota, lemahnya partisipasi masyarakat, adanya
kecenderungan pemerintah Kabupaten/Kota menutup akses informasi, serta
kurangnya kegiatan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Olehnya itu,
perlu menata kembali berbagai produk hukum yang saling berkontradiksi dan
perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia agar kiranya mampu menerapkan
konsep ideal dalam otonomi daerah yang berujung pada Good and Clean Governance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar